Sabtu, 27 Maret 2010

NU

Sejarah NU [02]

Latar belakang internasional


Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama

Selasa, 19 Januari 2010

perkembangan islam

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

(Bersambung)

Rabu, 16 Desember 2009

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS DAN ILMU HADITS

(Telaah Atas Kritik Ignaz Goldzhier dan Joseph Schacht)

A. PENDAHULUAN

Goldziher_smallKaum Muslimin memposisikan sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Dan hadits selama ia sahih (valid) menempati posisi yang sangat strategis dalam khazanah hukum Islam.[1] Sunnah Rosul, atau yang sering dipertukarkan nama dengan al-Hadits, adalah ucapan, perilaku, persetujuan, penetapan dan sifat-sifat yang diungkapkan dan dipandang benar-benar dari Rosulullah. Dalam sunnah itulah kaum muslimin menemukan berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Tuhan dan diterjemahkan kedalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad SAW. Karena sifatnya yang sangat praktis, dan tidak jarang mengikat secara keagamaan, al-Hadits sering menjadi lebih populer dan lebih menentukan dalam pembentukan tingkah laku sosio-keagamaan dibanding ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu pada praktiknya kehidupan seorang muslim banyak ditentukan oleh Al-Hadits Nabi.[2]

Sebagai suatu tindakan Nabi yang dimaksudkan untuk “membumikan” ajaran Islam, maka hadits tidak bisa mengelak dari dinamika sosial yang terjadi. Bahkan tidak jarang sebuah hadits menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antar realitas sosial saat itu dan norma ideal, yang biasanya berahir dengan kompromi suatu ajaran tertentu, meskipun semuanya masih dalam bingkai wahyu. Dan hampir semua persoalan yang muncul dalam kehidupan Nabi terungkap dalam Al-Hadits.[3]

Al-Qur’an berbicara tentang prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, sementara Hadits menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan operasional, bahkan hadits bisa berdiri sendiri dalam pembentukan hukum ketika Al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum tersebut.[4] Dengan demikian al-qur’an dan hadits merupakan “dwi-tunggal” yang tidak boleh dipisah-pisahkan.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kedudukan keduanya sejajar. Hal ini terlihat antara lain pada jaminan redaksional dan pengondifikasiannya. Legalitas redaksi Al-Qur’an, sudah tidak diragukan lagi. Al-Qur’an langsung dari Allah dan Nabi Muhammad langsung meminta pada para sahabat untuk menuliskannya setiap kali ayat itu turun dan pencatatan Al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan dan menjadi aktivitas publik. Sedangkan Hadits baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga sumber pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi. Penulisan hadits juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat saja.[5] Bahkan suatu saat Nabi pernah melarang menulis apa saja yang datang dari beliau selain al-Qur’an. Sehingga pen-tadwin-an hadits secara resmi tertunda sampai abad ke-2 H. Hal ini semakin membuka peluang bagi para orientalis untuk mencari sisi-sisi kelemahan Islam dari segi sumbernya, terutama sumber yang kedua ini.

Sebagai kelompok ilmuwan, mereka (orientalis) menggunakan kedok metode ilmiah untuk memutarbalikkan Hadits, sehingga mampu menimbulkan kesangsian (keraguan) atas kebenaran dan keotentikan Al-Hadits, lebih parahnya lagi mereka mampu mempengaruhi dan meyakinkan orang lain.[6] Hal ini karena kepiwaian mereka dalam berargumentasi untuk meyakinkan semua orang bahwa Hadits itu bukan berasal dari Nabi.

Ignaz Goldzhier merupakan orientalis pertama yang mengkritik hadits dan ilmu hadits secara sistematis dengan metode ”Historical Criticism”-nya, sedangkan Joseph Schacht merupakan penerus Goldziher dengan kritik yang lebih canggih dan merupakan peletak fondasi bagi hampir seluruh kajian Al-Hadits orientalis masa sesudahnya.[7]

Sehubungan dengan itu, Makalah ini dalam pembahasannya akan mencoba mencermati beberapa persoalan yaitu bagaimana mendefinisikan kritik, orientalis serta tugas-tugasnya; Tentang kritik orientalis terhadap Al-Hadits dan Ilmu Hadits serta sanggahan-sanggahan atas pendapat mereka; dan Hikmah yang dapat kita ambil dibalik kritik orientalis.

B. PENGERTIAN KRITIK, ORIENTALIS DAN TUGAS-TUGASNYA.

Dua kata “kritik” dan “orientalis” dalam khazanah bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi. Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa asing. Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya terjadi misundestanding antara nara sumber dan penerimanya. Dari sinilah, penulis merasa perlu memposisikan pengertian dua kata tersebut sebelum pembahasan yang lain.

Kritik; berasal dari bahasa Inggris “critic” yang dalam bahasa Indonesia diartikan pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas.[8] Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan,[9] atau menurut versi W.J.S. Puerwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah”.[10] Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan ”mengkritik” atau “meneliti dengan cermat”.[11]

Yang dapat kita pahami dari pengertian diatas adalah bahwa kritik/ mengkritik adalah upaya untuk menunjukkan / mendahulukan kesalahan daripada mencari kebenarannya. Dengan demikian, maka dalam benak kita ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan su’udzan, dan bisa jadi karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak tampak.

Karena itu, menurut hemat penulis, kritik berarti meneliti dengan cermat tentang benar tidaknya sesuatu dengan menggunakan standart yang sesuai. Dengan pengertian ini, maka yang dilakukan orang ketika mengkritik hadits dan ilmu hadits adalah menilai dan mengomentarinya dengan mendahulukan kebenaran yang ada daripada kesalahannya, dengan menggunakan parameter hadits atau ilmu hadits.

Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti –salah satunya- adalah Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.[12] Karena itu, orientalis bisa juga diartikan orang yang ahli dibidang ketimuran. Berdasarkan letak geografis, memang benua Asia berada disebelah Timur benua Eropa. Tetapi konotasi yang diberikan oleh Barat tentang Timur adalah orang-orang Islam.

Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.[13]

Dari pengertian diatas, dapat diambil pengertian akan tujuan orientalis. Melalui kritik-kritik yang dilontarkannya, mereka menyisipkan “bom waktu” yang sewaktu-waktu dapat memporak-porandakan bangunan Islam apabila tidak segera dijinakkkan.

Maryam Jamilah menyatakan bahwa tujuan orientalis dalam penelitiannya tentang Islam dan hal ihwalnya dengan:

“ … yang diupayakan (orientalis) secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinil melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita (Islam) agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisa yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah menciptakan kekeliruan sebanyak-banyaknya dikalangan pemuda yang belum matang dan mudah ditipu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisme dan sekeptisisme”.[14]

C. KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS

Pembukuan hadits secara resmi baru dilakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi wafat. Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadits.

Perhatian orientalis terhadap peradaban Timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan Timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-qur’an kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadits. Kesimpulam mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan Al-hadits diragukan sebagai sabda Rosul karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya.[15] Terlebih lagi, ketika masih Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadits oleh para sahabat.

Diantara hadits nabi yang melarang itu adalah:

عن ابي سعيدالحذري انّه قال: قال رسول الله صلعم: لا تكتبوا عنّي شياء إلاّ القرأن ومن كتب غيرالقرأن فليمسحه وحدّثوا فلا حرج ومن كذب علي متعمّدا فلستبوأ مقعده من النار. رواه مسلم و احمد

Namun, di hadits lain, nabi membolehkan atau bahkan memerintahkan untuk menulis hadits. Misalnya pada hadits

اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه إلاّالحق

Atau hadits

اكتبـوا لا بـي شـاه

Meskipun terdapat berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadits Nabi telah dipelihara semenjak periode awal (sahabat), para orientalis terus saja mencari-cari peluang untuk menyalahkannya.[16] Mereka menyatakan, hadits Nabi tidak pernah dibukukan sampai pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun waktu yang panjang ini, keberadaan Hadits tersia-sia. Alasannya karena hadits belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadits Nabi sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, hadits tidak mungkin dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.

Diantara “pentolan” orientalis adalah Ignaz Goldziher. Ia adalah Anak seorang Yahudi yang dilahirkan di sebuah kota di Hongaria pada 22 Juni 1850 dan meninggal pada 13 November 1921.[17] Hadits menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadits-hadits palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing.[18] Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya.

Disamping itu, ia juga menyatakan bahwa jumlah hadits pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya dan juga hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua. Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian (keotentikan) Hadits harus dipertanyakan?.

Untuk merespon hal itu, sebagaimana disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadits secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari Hadits. Dengan begitu maka Hadits akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadits tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.[19]

Dalam kacamata Islam, teramat disayangkan apabila ilmuwan sekaliber Goldziher tidak menelorkan pemikiran-pemikiran yang positif, tetapi justru semakin memperdalam kubangan “neraka”nya. Terlalu naif kiranya kalau dikatakan bahwa ia tidak tahu akan kegiatan penulisan dan pemeliharaan hadits pada masa awal, kekuatan hafalan orang-orang Arab pada waktu itu, daya kritis para sahabat ketika datang/diajukan padanya sebuah hadits. Pada masa tabi’in, kegiatan tulis menulis Hadits masih tetap berlangsung sebagaimana pada masa sahabat. Pada masa ini, ada sebagian tabi’in yang hidup semasa dengan sebagian usia para sahabat, kemudian dari merekalah mereka (tabi’in) mendapatkan hadits.[20] Dengan demikian, kritik Goldziher tentang ke-historis-an hadits tidak dapat diterima secara ilmiah.

Disamping Goldziher, Orientalis yang berpengaruh lain adalah Joseph Schacht. Ia adalah orientalis Jerman yang lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman. Pada tahun 1959 ia pindah ke New York, dan menjadi Guru Besar di Universitas Coloumbia hingga meninggal pada awal Agustus 1969.[21] Walaupun Ia merupakan orientalis spesialis dalam bidang Fiqh, namun menurut penulis bidang ini tidak akan bisa lepas dari Hadits. Karena lebih dari setengah permasalahan yang ada dalam fiqh terdapat dalam Sunnah/Hadits Nabi.

Mengenai hal ini, Yusuf Al-Qardawi menyatakan bahwa, hadits merupakan sumber kedua bagi ilmu fiqh dan syari’at setelah al-Qur’an. Karena itu, memandang hadits/sunnah sebagai sumber dalil syari’at merupakan suatu pembahasan yang menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fiqh dan semua mazhab fiqh.[22]

Prof. Schacht berpendapat hampir senada dengan Goldziher. Selama + 10 Tahun, ia telah meneliti hadits-hadits fiqh. Hasil penelitiannya itu kemudian diterbitkan dan menjadi sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammaden Jurispundence, didalamnya, ia berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadits nabi yang autentik, terutama hadits-hadits fiqh. Dan sejak saat itu, buku itu menjadi “kitab suci kedua” dikalangan orientalis.[23] Namun demikian, sebagaimana kata M. M. Azami, usaha Schacht ini berhasil “meyakinkan” orang yang -sependapat dengannya- bahwa apa yang sering disebut hadits itu tidak autentik berasal dari Nabi Muhammad. Sementara Goldziher, baru sampai tingkatan “meragukan” (ada kemungkinan itu dari nabi).[24]

Dengan kata lain, Schacht berusaha merapuhkan pondasi bangunan Islam dengan menyatakan bahwa hadits Nabi yang berkaitan dengan fiqh, dinyatakan palsu. Oleh karena itu, ia tidak dapat dijadikan tendensi sumber hukum Islam. Kalau maksud ini berhasil, maka umat Islam akan meragukan atau bahkan meninggalkan Hadits. Dan dalam jangka panjang, mereka akan meningalkan Islam.

Tetapi, kiranya Schacht tidak akan berpendapai demikian seandainya penelitiannya itu dilakukan dengan niat untuk mengetahui eksistensi hadits sebagai sumber Islam kedua; Ini sebagai kesalahannya yang pertama. Yang kedua, Joseph Schacht telah melakukan generalisasi terhadap hasil kajiannya terhadap kitab-kitab fiqh sebagai produk jadi, seakan-akan tidak ada kitab khusus tentang hadits. Dalam kitab fiqh klasik karya para ulama’ terdahulu biasanya: 1) terjadi pembuangan sebagian sanad untuk mempersingkat pembahasan kitab dan cukup disebutkan sebagian dari matan hadits yang berkaitan dengan permasalahan tersebut; 2) membuang sanad seluruhnya, dan langsung menyebut hadits dari sumber yang pertama; 3) penggunaan kata “Sunnah” untuk menunjuk kepada perilaku Nabi tanpa menyebut hadits dan sanadnya. Sebab hadits tersebut sudah dikenal secara mashur dikalangan ulama.[25] Sedangkan hadits Nabi adalah suatu materi yang berdiri sendiri, bahkan ia mencakup ilmu-ilmu yang lain. Oleh sebab itu, ditinjau dari segi ilmiah adalah sebuah kesalahan yang sangat mendasar apabila kita meneliti hadits-hadits yang terdapat dalam kitab fiqh sebagaimana yang dilakukan Joseph Schacht. Karena semua penelitian hadits ataupun sanad diluar sumber yang asli (hadits), hasilnya akan meleset dari kebenaran. Sebab hal itu akan membawa kepada kesimpulan yang tidak tepat, bahkan akan berlawanan dengan kenyataan yang ada. Disinilah kesalahan penelitian yang dilakukan oleh orientalis –khususnya Schacht-, karena mereka menggunakan metode yang tidak benar.[26]

D. KRITIK ORIENTALIS TERHADAP ILMU HADITS

Ali Musthafa Ya’kub menyatakan bahwa dalam ilmu hadits, kritik ditujukan kepada dua aspek, yaitu sanad dan matan.[27] Kritik sanad dimaksudkan untuk mengetahui kredibilitas perawi misalnya, tentang ke-‘adalah-an perawi, ke-tsiqah-an perawi, bersambung atau tidaknya sanad dengan perawi dalam rangkaian sanad tersebut dan sebagainya. Sedangkan kritik matan ditujukan untuk melihat kredibilitas materi (teks) hadits, misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan ‘illat dan syaz. Kedua kritik ini (sanad dan matan) telah dilakukan oleh para ulama hadits, yang pada masa-masa berikutnya dikenal dengan al-jarh wa al-ta’dil.

Berkenaan dengan hal ini, Ignaz Goldziher menyontohkan bahwa dalam sejarah terjadi pemalsuan isnad dan juga matan hadits dan kaum muslimun hanya memberi perhatian kepada kritik isnad, dan kurang memberi perhatian terhadap kritik matan, bukankah ini membuktikan bahwa tidak ada jaminan keotentikan hadits pada saat sekarang ini. Merespon hal ini, Dr. Ugi Suharto menyatakan bahwa literatur hadits-hadits mawdhu’at telah membuktikan bahwa hadits tersebut telah dipisahkan dari hadits-hadits yang lebih otentik. Pembagian hadits kepada sahih, hasan dan dhaif juga membantu dalam menentukan keotentikan setiap hadits. Dan juga benar bahwa para penyusun hadits mempunyai spesialisasi dalam isnad, namun apabila sampai kepada para sarjana yang lain, seperti sarakh hadits, fiqh dan bidang ilmu yang lain, matan hadits turut menjadi perhatian mereka juga. Sebab hadits-hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an, akal yang sehat, riwayat yang mutawatir dan ijma’ sudah tentu akan ditolak oleh para ulama hadits.[28] Karena diantara syarat kesahihan hadits adalah tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat dan ini adalah kritik sanad. [29]

Namun, seperti apapun jahatnya manusia, pasti ada sisi positif atau setidaknya ada pengakuan positif tentang keadaan yang dialaminya walaupun tidak disampaikan pada orang lain. Hak ini juga terjadi pada Ignaz Goldziher. Dalam buku hariannya ia menuliskan sebagaimana dikutip Ugi Suharto bahwa:

“ …. I truly entered into spirit of Islam to such an extent that ultimately I became inwardly convinced that I myself was a Muslim, and judiciously discovered that this was the only religion which, even in it’s doctrinal and official formulation, can statisfy philosophical mind. My ideal was to elevate judaism to a similar rational level”.[30]

(sebenarnya aku telah andil dalam spirit islam untuk menyampaikan ……

Sama seperti Goldziher, kritik ilmu hadits tentang sanad dan matan juga tak lepas dari penelitian Joseph Schacht. Ia dan para orientalis lain -seperti Goldziher, Springer- menyatakan bahwa teori sistem isnad dituduh sebagai bikinan para ulama hadits dan tidak pernah ada pada zaman Nabi atau bahkan para sahabat. Dengan kata lain, sistem isnad menurut sebagian orientalis adalah a-historis.

Anggapan seperti yang dituduhkan orientalis ditolak oleh M. M. Azami, sebab menurutnya sistem isnad telah digunakan secara insidental (kebetulan) dalam sejumlah literatur pada masa pra-Islam walaupun dalam sebuah makna yang tak jelas, tanpa menyentuh sasaran pemakainya. Namun demikian, urgensi metode sanad ini baru tampak dalam riwayat hadits saja. [31] Hal ini dapat dimengerti, karena sistem isnad dipandang sebagai salah satu cara yang efektif untuk mendeteksi apakah hadits itu benar-benar dari Nabi atau tidak.

Menurut M. M. Azami, untuk memperoleh otentitas hadits, maka seseorang harus melakukan kritik hadits baik itu menyangkut sanad hadits maupun matannya. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadits adalah:

1. Memperbandingkan hadits-hadits dari berbagai murid seorang guru.
2. Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang berbeda.
3. memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4. memperbandingkan hadits-hadits dengan Ayat al-Qur’an yang berkaitan.

Dari hal diatas, terlihat bahwa M.M. Azami kurang tertarik pada pendekatan rasional walaupun beliau telah menyinggung kritik matan pada point keempat. Menurutnya, pendekatan rasional tidak selamanya dapat diterapkan dalam metode kritik hadits. Beliau menyontohkan hadits tentang bagaimana Nabi tidur dengan berbaring pada lambung kanan. Secara rasional, orang bisa saja tidur dengan terlentang, telungkup, berbaring pada lambung kanan atau kiri. Semua posisi tidur adalah mungkin. Namun demikian, kita tidak bisa mengatakan –dengan rasio kita- bahwa posisi tidur tertentu adalah mungkin dan yang lain tidak mungkin.

Dalam kasus seperti tersebut diatas, pendekatan rasional tidak bisa membuktikan kebenaran dan ketidakbenaran hadits. Apa yang benar atau tidak benar hanya dapat diputuskan melalui saksi-saksi dan perawi yang terpercaya, kecuali kita menemukan kasus/kejadian yang bertentangan dengan akal.[32]

E. HIKMAH DIBALIK KRITIK ORIENTALIS

Ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari kritik orientalis –khususnya kritik Goldziher dan Joseph Schacht- terhadap hadits ataupun ilmu hadits. Namun yang paling penting, adalah dengan adanya kritik tersebut dapat menggugah kembali pikiran umat Islam untuk tidak menerima hadits begitu saja tanpa adanya penelusuran kembali (reserve).

Kritik orientalis tersebut didasarkan kepada hasil penelitiannya terhadap hadits dan ilmu hadits, dengan segala aspeknya -kekurangan dan kelebihannya- kemudian dituangkan dalam bentuk yang argumentatif dan rasional –setidaknya menurut mereka- maka secara implisit juga merangsang dan menantang umat Islam untuk mematahkan argumentasi mereka berdasarkan data-data yang sebenarnya. Dan data-data itu diperoleh melalui penelitian juga.

F. KESIMPULA N

Dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Hadits menempati posisi yang sangat strategis dalam Islam. Tetapi karena pembukuannya tidak dilakukan sebagaimana Al-Qur’an, maka ini menjadi sebab utama para orientalis mengkritik hadits dengan habis-habisan.
2. Para orientalis dalam mengkritik hadits dan ilmu hadits berangkat dari niat yang tidak baik terhadap Islam. Berbeda dengan kritik yang dilakukan para ulama hadits, yang berangkat dari niat tulus untuk mengetahui keadaan hadits yang sebenarnya. Oleh karena itu wajar apabila kritik yang dilontarkan oleh orientalis ditujukan untuk merobohkan pondasi kedua bangunan islam.
3. Dibalik kritik orientalis, umat Islam pembela hadits merasa tertantang untuk menunjukkan kekeliruan proses dan hasil penelitian para orientalis, dengan menunjukkan data-data yang sebenarnya yang diperoleh dari penelitian juga.

Dari pembahasan diatas, penulis menyadari masih banyak celah dan hal-hal yang perlu pembahasan lebih mendalam lagi. Maka dari itu, saran, masukan dan juga kritik atas penulisan ini sangat diharapkan, walaupun berat menerima kritik atas pekerjaan yang telah dilakukan dengan maksimal dan segala keterbatasan yang ada pada diri penulis.

Daftar Rujukan

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. T.th. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika anggota IKAPI.

al-Shalih, Subkhi. 1997. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. (Penj.) Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.

al-Katib, Muhammad ‘Ajaj. 1990. as-Sunnah Qabl al-tadwin. Beirut Libanon: Dar al-Fikr.

as-Syiba’i, Muhammad. 1993. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. (Terj.) Dja’far Abdul Muchith. Bandung: CV. Diponegoro.

Azami, M. M. 1977. Studies in Hadith: Methodology and Literature. Indiana Polis: American Trust Publications.

————–. 1994. Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya. (Terj.) Ali Musthofa ya’kub. Jakarta: Pustaka Firdaus.

—————.1994. Studies and Early Hadith Literature. (Terj.) Ali Musthafa Ya’kub. Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Badawi, Abdurrahman. 2003. Ensiklopedi Tokoh Orientalis. yang diterjemahkan dari judul aslinya “ mawsu’ah al-Mustasyriqah” oleh Amroeni Drajat. Yogyakarta: LKiS.

Echols, John M. dan Hasan Shadily. 2001. kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Fahyuni, Badriyah dan Alai Najib. 2002. “ Mahluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ghafur, Wahyono Abdul. 2002. “Epistemologi Ilmu Hadits” Abdul Mustaqim. “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits Menurut Prespektif Muhammad Musthafa Azami” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Hornby, A.S.1995. Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current English. Fifty Edition. London: Oxford Univercity Press.

Jamilah, Maryam.1994. Islam dan Orientalisme: Sebuah Kajian Analitik. (penj.) Machnun Husain dari judul asli “Islam and Orientalism”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet.II.

Poerwodarminto, W.J.S.1976. kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Qardhawi, Yusuf. 1996. Studi Kritis As-Sunnah. (terj.) Bahrun Abu bakar dari judul asli “Kaifa nata’amalu ma’ as-sunatin Nabawiyah”. Bandung: Trigenda karya.

Suharto, Ugi. 2005. Orientalis dan Hadits. Makalah yang disajikan dalam acara workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V. Dengan tema “Menjawab Tantangan Sekulerisme dan Liberalisme di Dunia Islam” diselengarakan atas kerjasama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) cabang Pasuruan, Forum Kajian Pemikiran Islam (FKPI) dan Institute For The Study of Islamic Tought and Civilization (INSIST) Kuala Lumpur di Pasuruan pada tanggal 4-5 April 2005.

Takhan, Mahmud. 1998. Taisir Musthalah al-hadits. T.tp. cet.v.

Tim penyusun ensiklopedi Islam. 2000. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Houve. Hal. 80. cet. 2. Jilid 4.

Ya’kub, Ali Musthafa. 1991. Imam Bukhori dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ya’kub, Isma’il. 1970. Orientalis dan Orientalisme. Surabaya: CV. Faizan.
[1] M. M. Azami. 1977. Studies in Hadith: Methodology and Literature. Indiana Polis: American Trust Publications. Hal. 46. hal ini juga dapat ditemukan dalam Muhammad as-Syiba’i. 1993. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. (Terj.) Dja’far Abdul Muchith. Bandung: CV. Diponegoro. Hal. 82-83.

[2] Badriyah Fahyuni dan Alai Najib. 2002. “ Mahluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 44.

[3] Ibid. Hal. 45.

[4] Subkhi al-Shalih. 1997. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. (Penj.) Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 253-256.

[5] Wahyono Abdul Ghafur. 2002. “Epistemologi Ilmu Hadits” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer. Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya. Hal. 3-4.

[6] M. M. Azami. 1994. Studies and Early Hadith Literature. (Terj.) Ali Musthafa Ya’kub. Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 5.

[7] Ugi Suharto. 2005. Orientalis dan Hadits. Makalah yang disajikan dalam acara workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V. Dengan tema “Menjawab Tantangan Sekulerisme dan Liberalisme di Dunia Islam” diselengarakan atas kerjasama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) cabang Pasuruan, Forum Kajian Pemikiran Islam (FKPI) dan Institute For The Study of Islamic Tought and Civilization (INSIST) Kuala Lumpur di Pasuruan pada tanggal 4-5 April 2005.

[8] John M. Echols dan Hasan Shadily. 2001. kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal.

[9] A.S. Hornby, 1995. Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current English. Fifty Edition. London: Oxford Univercity Press. Hal. 277.

[10] W.J.S. Poerwodarminto. 1976. kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 527.

[11] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. T.th. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika anggota IKAPI. Hal. 1937.

[12] John M. Echols dan Hasan Shadily.op.cit. hal.

[13] Isma’il Ya’kub. 1970. Orientalis dan Orientalisme. Surabaya: CV. Faizan. Hal. 11.

[14] Maryam Jamilah.1994. Islam dan Orientalisme: Sebuah Kajian Analitik. (penj.) Machnun Husain dari judul asli “Islam and Orientalism”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 173-174. Cet.II.

[15] Tim penyusun ensiklopedi Islam. 2000. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Houve. Hal. 80. cet. 2. Jilid 4.

[16] Diantaranya adalah sebagaimana yang ditulis Wahyono Abdul Ghafur. Op.cit. Hal. 11-13. Bahwa pada masa Nabi ada beberapa sahabat yang diberi wewenang (diperbolehkan) bahkan diperintah untuk menulis hadits. Diantara tulisan –tulisan yang sedikit itu atau yang lebih sering disebut dengan sahifah (lembaran) adalah shahifah ash-sahihah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. shahifah ash-Shadiqah yang merupakan tulisan langsung sahabat Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash; Shahifah samarah ibn Jundub dan Sahifah jabir Ibn Abdillah.

[17] Abdurrahman Badawi. 2003. Ensiklopedi Tokoh Orientalis. yang diterjemahkan dari judul aslinya “ mawsu’ah al-Mustasyriqah” oleh Amroeni Drajat. Yogyakarta: LKiS. Hal. 128-130.

[18] Muhammad ‘Ajaj al-Katib. 1990. as-Sunnah Qabl al-tadwin. Beirut Libanon: Dar al-Fikr. Hal. 349-350.

[19] Ugi Suharto. Op.cit. Hal. 4.

[20] M.M. Azami. 1994. Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya. (Terj.) Ali Musthofa ya’kub. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 124.

[21] Abdurrahman Badawi. Op.cit. Hal. 270-272.

[22] Yusuf Qardhawi. 1996. Studi Kritis As-Sunnah. (terj.) Bahrun Abu bakar dari judul asli “Kaifa nata’amalu ma’ as-sunatin Nabawiyah”. Bandung: Trigenda karya. Hal. 43.

[23] M.M. Azami. Op.cit. Hal. 3.

[24] Ibid. Hal. 3.

[25] Abdul Mustaqim. 2002. “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits Menurut Prespektif Muhammad Nusthafa Azami” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer. Op.cit. Hal. 66-67.

[26] Ibid. hal. 67-68.

[27] Ali Musthafa Ya’kub. 1991. Imam Bukhori dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal. 20.

[28] Ugi Suharto. Op.cit. Hal. 6.

[29] Selain kedua syarat tersebut, ada tiga syarat kesahihan hadits yaitu: ittishal al-sanad, ‘adalat al-ruwah dan dhabtu al-ruwah. Lihat dalam Mahmud Takhan. 1998. Taisir Musthalah al_hadits. T.tp. Hal.33-34. cet.v.

[30] Ugi Suharto. Op.cit. Hal. 7.

[31] Abdul Mustaqim. Op.cit. Hal. 59-60.

[32] Ibid. Hal. 72-73.

Ditulis dalam Qur'an dan Hadits

hadist kontemporer ee


HADITH DI MATA ORIENTALIS (Studi Kritis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith)
14 03 2008

Oleh :

Siti Mahmudah Noorhayatie

(Dosen Ilmu Agama pada Sekolah Tinggi Tehnik IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Abstraks

This articel discription abaut orientalish with interested to studied Hadith. He names Ignaz Goldziher, he Hungarian orintalish bird from yahudi family in1850 M. In this studies he skeptis and tendensius abaut Manusckrip Hadith . Goldziher perseption Hadith as product Islamic intelectual and result Islamic Cultur and religous sociaty. This unautentik books, but reflection doctrin from political develops in scond centucy propeth Muhammad dei. It adopted for idea yahudi . Then He critical reduction (Isse) matan hadith with writed transmiters hadith unacured so they more underline mening only.

Kata kunci: Orientalis, Ignaz Goldziher, Otentisitas, Hadith, Tradisi, Penulisan, Penulisan Hadith, Nabi Muhammad Saw.

Pendahuluan

Hingga saat ini, hadith Nabi tidak henti-hentinya dikaji dan di pelajari secara serius, bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri tapi oleh para islamisis dan orientalispun juga tertarik terhadap kajian tersebut. . Hal ini terjadi karena eksistensi hadith pada kenyataannya semakin mengundang banyak problematika di kalangan orientalis yang serius mengkaji hadith. Problematika tersebut dirasa semakin kompleks, ketika eksistensi hadith itu sendiri dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-Qur’an, dimana al-Qur’an sebagai sumber otoritas pertama diriwayatkan secara mutawatir (qot’i> al-Wuru>d), sedangkan hadith sebagai sumber otoritas kedua diriwayatkan tidak secara mutawatir (dhoni> al-Wuru>d), karena secara historisitas penulisan ataupun pengkodifikasiannya relatif sangat jauh dari masa hidup Nabi[1]. Dari sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang dengan sengaja menstereotipkan keberadaan hadith di mata umat Islam.

Ignaz Goladziher, orientalis yang telah melakukan kajian yang intens terhadap hadith. Metode yang digunakan Goladziher adalah historis-fenomenologis yang hanya ditujukan terhadap unsur matan hadits (teks), yang cakupannya adalah aspek politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan unsur sanad sampai kepada Nabi. Hal ini disebabkan oleh Goldziher yang secara tegas memang tidak menerima metode kritik sanad sebagai metode ilmiah. Kondisi yang demikian berbeda dengan para Muhaddithin umumnya menganggap bahwa kritik sanad lebih urgen dari pada kritik matan, sedangkan Ignaz dan sejarawan pada umumnya mementingkan kritik terhadap teks/matan, sebab Ignaz dan Sejarawan bergerak dengan asumsi bahwa sumber informasi tidak selamanya benar.Terlepas dari berbagai kelemahan kajian terhadap hadith yang telah dilakukan oleh Ignaz maupun orientalis, yang pasti, hal ini telah membawa nuansa baru dan cakrawala baru yang memperkaya khazanah kajian hadith Nabi.

Orientalis dan Orientalisme: Sebuah Pengantar

Orientalisme adalah sebuah istilah yang berasal dari kata orient yang secara harfiah berarti timur. Kata ini secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di timur.[2] Sedangkan oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat timur yang cakupannya amat luas. Sementara orientalis adalah ilmuwan Barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang di dalamnya tentang bahasa-bahasa, kesusastraan, peradaban dan agama-agama timur.[3] Namun terkadang penamaan orientalis hanya dibatasi kepada orang-orang yang mengkaji pemikiran Islam dan peradabannya. Dengan begitu, orientalisme dimaknai sebagai satu cara atau sikap mengenai hal-hal yang bersifat Timur,[4] yang secara terminologis biasanya identik dengan paradigma berpikir[5], pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the Orient) dan Barat (the Occident).[6] Dalam perkembangannya, fokus utama kajian orientalis adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor terbesar dari ketertarikan orientalis disamping gagasan, politik, dan theologi yang mewarnai kehidupan masa kini.[7] Dalam beberapa kajian, mereka melakukan di bawah proyek besar orientalis dengan menjelajahi dunia Timur.[8] Dalam kajian-kajian orientalis dengan berbagai diskursus studi keislaman ini, sebenarnya bisa diberi pengertian bahwa mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyerang keyakinan umat Islam dan mendiskreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam merupakan topeng an sich. Pengertian ini didasarkan pada peristiwa Perang Salib, dimana bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur dalam memperebutkan kawasan Palestina, tempat ziarah kaum Nasrani, yang di menangkan tentara Islam pimpinan Salahuddin al-Ayubi (1169-1193).[9] Dari sinilah, orientalis kemudian tertuju kepada penjajahan dunia Islam, dengan berkedok menggali dan mempelajari khazanah Islam, yang muara akhirnya hanyalah untuk menghancurkan Islam..

Hal ini tak lepas dari kesadaran mereka, bahwa Islam tidak bisa diperangi secara fisik sehingga mereka lebih memilih pada perang fikir. Lalu mengapa hadith dijadikan salah satu sasaran empuk mereka, hal ini berawal dari persepsi mereka yang mengatakan bahwa agama yang paling benar adalah agama Yesus bukan Islam, sementara al-Qur’an yang dijadikan pegangan umat Islam bukanlah wahyu. Selanjutnya Muhammad dijadikan referensi, dengan mencari titik kelemahan Muhammad sebagai individu bukan sebagai wahyu atau utusan. Akhirnya, sebagai sumber otoritas kedua mereka-pun menelanjangi hadith, dalam kenyataannya mereka gagal menyerang dan meragukan al-Qur’an. Meminjam istilah Abdul Ra’uf, misi dari orientalis ini adalah penghancuran tradisi (destructio of the tradition).[10]

Sketsa Biografis Ignaz Goldziher

Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Hongaria. Dia Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869.[11] Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Di Universitas ini, dia menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus hadith paling penting di abad ke-19. Pada tanggal 13 Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes.[12] Sebagai seorang orientalis yang gigih, ia berusaha menciptakan keresahan umat Islam, seperti menggoyang kebenaran hadith Nabi Muhammad Saw, maka karya-karyanya menjadi sangat berbahaya, terutama berita kebohongan dan kebodohan yang dapat menciptakan permusuhan terhadap Islam. [13]

Penulisan Hadith Prespektif Ignaz Goldziher

Diskursus tentang otentisitas hadith merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi hadith. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[14] Maka secara normatif-theologis, hadith tidak mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadith. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadith pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856)[15] dan Sir William Munir dengan karyanya life of mahomet,[16] namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadith tersebut.

Namun dalam tulisan ini, hanya akan dibahas satu tema dari sekian banyak tema yang ada dalam karyanya yang cukup monumental “Muslim Studies, Muhammedanisce Studies” yang dipublikasikan pada tahun 1896.[17] Adapun tema yang akan dipaparkan adalah The Writing Down of Hadith, karena tema ini dianggap penting berdasarkan relevansi sebab-musabab (the cause) permasalahan munculnya penyerangan eksistensi hadith.

Dalam bukunya, Muslim Studies, Ignaz Goldziher memaparkan tentang pemeliharaan hadith tertulis (Kita
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadith merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadith baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.[18] Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadith yang membolehkan penulisan (prases pengkodifikasian) lebih banyak dari pada pelarangan hadith yang lebih mengandalkan pada hapalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadith melalui periwayatan Abu Hurairah “Tidak ada seorangpun yang hafal lebih banyak hadith selain aku, Namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadith ini.[19]

Pergulatan pemikiran (ghazwu al-fikri<) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya penulisan hadith, merangsang Ignaz Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang muncul kemudian. Di antaranya adalah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.”[20] Selain itu juga karena kekhawatiran akan mensakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu (baca: Yahudi) yang mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.[21]

Nampaknya Ignaz Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadith. Terlepas apakah periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa orientalis, khususnya Ignaz Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang telah ada. Berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan hadith, yaitu: pada abad ke-3 H. (masa Imam Bukhori dan Muslim), Abu Ali al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis, karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. Kemudian pada abad ke-6, penulisan hadith ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka dari Damaskus, yaitu Abu al-Qosim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.[22]

Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadith yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadith-hadith klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadith, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadith yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.[23]

Ketiga, Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadith sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama.[24] Namun ternyata pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain al-Qur’an serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadith itu sudah terjadi sejak awal Islam.[25]

Keempat, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi/matan hadith yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadith dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadith sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadith disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.[26]

Analisis Kritis Pemikiran Ignaz Goldziher

Untuk menanggapi beberapa anggapan yang dilontarkan Goldziher di atas, berikut ini akan dipaparkan catatan kritis sebagai counter dan analisis dengan menyuguhkan beberapa argument.

Pertama, sejak awal munculnya Islam, Nabi Muhammad Saw memegang hak prerogatif keagamaan setelah Allah Swt, terbukti dengan dijadikannya beliau sebagai tempat rujukan dari masalah-masalah yang muncul di kalangan para sahabat dengan berbagai sabda dan perbuatannya, yaitu hadith. Dengan begitu, walaupun penulisan dan pengkodifikasian hadith baru dilakukan jauh dari kehidupan Nabi Muhammad Saw, bukan berarti autentisitas dan validitas hadith menjadi suatu yang diragukan, karena ulama belakangan berupaya secara serius dalam melakukan verifikasi, terbukti dengan banyak karya yang memuat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya sebagai upaya membentengi hadith-hadith palsu.

Pada pertengahan abad kedua, perhatian ulama lebih banyak tercurahkan pada penghimpunan hadits-hadits Nabi di luar fatwa sahabat dan tabi’in dalam bentuk musnad. Adapun kitab pertama adalah karya Abu> Da>ud al-Thaya>>lisi> dan musnad Ahmad bin Hanba>l. Penyusunan ini terus berlanjut dengan tersusunnya kitab “Kutu>b al-Sittah},” sementara pada generasi berikutnya lebih bersifat men-jarah dan men-ta’dil kitab-kitab yang telah ada.[27].

Muhammad ‘Ajjad al-Kha
Begitu juga Jhon L. Esposito menguatkan bahwa meskipun hadith pada mulanya disampaikan secara lisan, namun ada sebagian perawi yang mulai menuliskannya. Selanjutnya penghimpunan hadith bertujuan agar tidak merusak teks yang telah diterimanya dari para ahli yang telah diakui periwayatanya, dan penghimpunan ini mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif repetitif, dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur hadith merupakan contoh prosa terbaik dari prosa Arab di masa awal Islam.[29] Sebab itulah, maka pelarangan penulisan hadith sebagaimana yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher di atas bukanlah karena mengadopsi aturan-aturan agama-agama terdahulu. Argumen ini sangatlah tidak representatif dan terkesan sangat mengada-ada. Pelarangan penulisan di sini karena adanya kekhawatiran apabila hadith bercampur dengan al-Qur’an, sebab berdasarkan historisitasnya, biasanya jika para sahabat mendengar ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya ke dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Dan perlu diketahui, bahwa Ignaz mempunyai semangat yang sangat luar biasa dalam mencari titik kelemahan ajaran Islam, terutama berkaitan dengan hadith. Rupanya ia menjadikan hadith Abu< Sa’id al-Khudri sebagai dasar pijakan pelarangan penulisan hadith dan hadith Abu Hurairah sebagai dasar pijakan pembolehan penulisan hadith. Namun sayangnya, Goldziher menyikapi kedua hadith ini sebagai sesuatu yang kenyataannya saling bertentangan. Padahal menurut ilmu hadith, kedua hadith di atas dapat dikompromikan, yaitu dengan menggabungkan atau mentarjih keduanya, sebagaimana metode yang telah diterapkan oleh Yu>suf Qardha>wi>[30] dan Muhammad ‘Ajjad al-Khaf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.2. Dengan metode al-jam’u wa al-taufih.4. Larangan penulisan hadith ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.Jadi, penulisan hadith itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.Kedua, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan. Ketika para sahabat lebih mengandalkan hapalan mereka, bukan berarti tradisi tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan-pun sudah banyak dikenal dalam pagan Arab, terutama di kalangan penyair, walaupun harus diakui mereka lebih membanggakan kekuatan hapalan dan menganggap tabu tradisi tulisan ini,[32] bahkan ketabuan itu juga berimbas pada penulisan hadith yang berlanjut pada periode tabi’in dan telah menjadi fenomena umum. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan.[33] Ada juga Sa’ad Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadith dari tulisan tangan sendiri.[34]

Bahkan M. M. Azami telah memaparkan secara rinci tentang bukti adanya tradisi tulis-menulis pada masa awal Islam.[35] Menurutnya, beberapa sahabat yang telah melakukan tradisi penulisan hadith, misalnya Ummu al-Mu’minin Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin al-’Asy, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi< Thalib.[36] Namun kesadaran umum kaum muslimin untuk menulis ini baru mencuat ke permukaan setelah terinpirasi oleh kebijaksanaan Umar bin Abdul Aziz, yang pada periode inilah, pentingnya penulisan hadith Nabi Muhammad Saw baru terasa. Fenomena ini juga diperkuat oleh statemen orientalis lainnya, seperti Fuad Seizgin yang telah memberi ulasan tentang problem autentisitas hadith. Menurutnya, di samping tradisi oral hadith, sebenarnya juga telah terjadi tradisi tulis hadith pada zaman Nabi Muhammad, kendatipun para sahabat sangat kuat hapalannya.[37]

Ketiga, alasan Ignaz Goldziher di atas sangatlah tidak representatif, tidak jujur dan terkesan mengada-ada. Kalaupun Nabi Muhammad Saw mendapatkan pengetahuannya dari orang Yahudi dan Kristen, bukan berarti Nabi Muhammad Saw menjiplak gagasan Yahudi. Jika pada kenyataannya ada guru yang mengajari Nabi Muhammad Saw tentang ajaran-ajaran Yahudi, tentunya guru tersebut akan menggugat bahkan menolak mentah-mentah hadith Nabi Muhammad Saw itu.

Keempat, tuduhan Ignaz Goldziher terhadap perawi hadith sangat tidak beralasan, karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadith terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bi al-lafdzi< dan periwayatan bi al-ma’na>. Jenis periwayatan yang kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi hadith yang menggunakan tradisi periwayatan bi al-ma’na> dicurigai telah meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bi al-ma’na> ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya. Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, tradisi ini tidak dikecam oleh Nabi Muhammad Saw, mengingat redaksi hadith bukanlah al-Qur’an yang tidak boleh diubah susunan bahasa dan maknanya, baik itu dengan mengganti lafadz-lafadz yang mura
Penutup

Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadith tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan hadith adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltiba>s. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadith untuk mengecek validitas hadith. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadith pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadith. Dan tradisi penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadith sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya. Kajian hadith di kalangan sarjana Barat terwakili oleh Ignaz Goldziher, ternyata masih diwarnai epistemologi klasik Barat yang dilandasi oleh sikap skeptis dan tendensius, walaupun diakui ada beberapa orientalis yang tidak bersikap demikian. Ignaz Goldziher cenderung termotivasi untuk membuktikan bahwa materi hadith bukanlah bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Disamping dia juga ingin membuktikan bahwa hadith tidak lebih dari hasil karangan tokoh-tokoh perawi hadith yang telah menyandarkannya kepada Nabi Muhammad Saw untuk dijadikan legitimasi keagamaan. Walaupun demikian, gagasan-gagasan yang telah dilontarkan oleh Ignaz Goldziher juga ikut memberikan konstribusi berkembangnya wacana hadith sekaligus menggugah umat Islam untuk tidak terninabobokkan dengan hadith yang sudah ada secara instan. [*]


DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, M., “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jld. 4, Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002.

Al-Kha>tib, Muhammad ‘Ajjaj, al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1989. ________________________, Ushu>l al-Hadi>ts ‘Ulu>muhu> wa Mushthalahuh. Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.

Al-Maliki>, Muhammad ‘Alawi>, Mauqifu al-Muslim min al-Dira>sa>t al- Istisyra>qiyah. Kairo: Mathba’ah Hasan, tt.

Al-Sha>lih, Shubhi>, ‘Ulu>m al-Hadi>s wa Muhadditsu>n. Beirut: Da>r al-’Ilm li al-Mala>yi>n, 1988.

Al-Qatta>n, Manna’ Khali>l, Maba>hits fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1978.

Azami, M.M, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf Jakarta: Pustaka Firdaus,1994.

Brown, Daniel, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000. Cet. I.

Esposito, John L, Ensiklopedi Oxford dalam Islam Modern, terj. Eva Y.N. Dkk, jld. II, Bandung: Mizan. 2001.

Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm. London: 1971.

Tk. H. Ismail Jakub, Orientalisme dan Orientalisten Surabaya: C.V. Faizan, tt.

Juynboll, G.H.A, The Authenticity of The Traditions Literature. Leiden: 1969.

Al-Murshafi<, Sa’ad<, al-Mustasyriqur al-Islami kerja bareng Muassasah al-Rayyan.

Mustaqim, Abdul, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadith menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami” dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.

Prasetyo, Hendro, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam. Bandung: Mizan, 1994.

Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV, Bandung: penerbit Kharisma, 1999.

Rahman, Fathur, Ikhtisar Mushthalah al-Hadis. Cet.I, Bandung: Pt al-Ma’rifat, 1974.

Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 1996.

Al-Sufya>n, An wa man Ta>bi’ahum wa Maiqufuhum min Staba>t al-Syari<’ah wa Syumu>laha Dirasatan wa Tatbiqan, Makkah: Maktabaah al-Mana>rah, 1988.

Sou’yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Suryadi, Rekontruksi Metodologi Pemahaman Hadits Nabi; dalam Jurnal Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits. Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001.

Wizan, Adnan M., Akar Gerakan Orientalisme Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj. Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman, Cet. I,Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.

Ya’kub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, cet. II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Zaqzuq, Mahmud Hamdi>, al-Istishra>q wa al-Khalfi>yah al-Fikri>yah li al-Sira’ al- Hada>ra, tt: tp, 1988.

Al-Zaya>di, Muhammad Fathullah, al-Istisyra>q Ahda>fuhu wa Wasa>iluhu, Syiria-Libanon: Da>r Qutaibah, 2002.

Zuhdi, Achmad DH, Pandangan orientalis Barat tentang Islam antara yang menghujat dan yang memuji, Cet.I, Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2004.

[1] Suryadi, “Rekontruksi Metodologi Pemahaman Hadith Nabi,” dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadith (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga, 2001), h. 95.
[2] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 1.
[3] Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Istishra [4] Tk. H. Ismail Jakub, Orientalisme dan Orientalisten (Surabaya: C.V. Faizan, tt.), h. 11. lihat juga dalam Muhammad Fathullah al-Zayadi, al-Istisyra>q Ahda>fuhu wa Wasa>iluhu (Syiria-Libanon: Da>r Qutaibah, 2002), h. 15.

[5] Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj. Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), h. 1.

[6] Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1996), h. 3.

[7] Muhammad ‘Alawi< al-Man, al-Mustasyriqu>n wa man Ta>bi’ahum wa Maiqufuhum min Staba>t al-Syari<’ah wa Syumu>laha Dirasatan wa Tatbiqan (Makkah: Maktabaah al-Mana>rah, 1988), h. 1-4.

[8] Edward W. Said, Orientalisme…Op. Cit., h. 97.
[9] M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jld. 4 (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002), h. 59. Bandingkan dengan Muhammad Fathullah al-Zayadi, al-Istisyra>q…Op. Cit., h. 25.
[10] Hendro Prasetyo, “Pembenaran Orientalisme Kemungkinan dan Batas-batasnya,” dalam ISLAMIKA Jurnal Dialog Pemikiran Islam (Bandung: Mizan, 1994), h. 101.
[11] Achmad Zuhdi DH, Pandangan orientalis Barat tentang Islam antara yang menghujat dan yang memuji (Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2004), h. 142.
[12] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 14.
[13] Adnan M. Wizan, Akar Gerakan…Op. Cit., h, 10.
[14] QS. al-Hijr (15) : 9.
[15] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971), h. 181.
[16] Daniel Brown, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Cet. I (Bandung: Mizan, 2000), h. 111.
[17] Daniel Brown, Islam…Ibid., h. 112.
[18] M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3. lihat pula dalam Sa’ad al-Murshafi<, al-Mustasyriqu
[19] Ignaz Goldziher, Muslim…Op. Cit., h. 183.

[20] Ignaz Goldziher, Muslim…Ibid., h. 183-184.

[21] Ignaz Goldziher, Muslim…Ibid., h. 186

[22] Ignaz Goldziher, Muslim…Ibid.

[23] G.H.A. Juynboll, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in Modern Egyp (Leiden: E.J. Brill, 1969), h. 100.

[24] Ignaz Goldziher, Muslim…Ibid., h. 186.

[25] Ignaz Goldziher, Muslim…Ibid., h. 182

[26] Ignaz Goldziher, Muslim…Ibid., h. 187-188
[27] Shubhi> al-Sha>>lih, Ulu>m al-Hadi>s wa al-Muhhadtisu>n (Beirut: Da>r al-’Ilm li al-Mala>yi>n, 1988), h. 47.
[28] Muhammad ‘Ajja
[29] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford dalam Islam Modern, terj. Eva Y.N. Dkk, jil. II (Bandung: Mizan. 2001), h. 127.

[30] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV, (Bandung: penerbit Kharisma, 1999), h. 117.

[31] Muhammad ‘Ajjaj al-Kha>tib, Ushu
[32] Muhammad ‘Ajjaj al-Kha>tib, Ushul…Ibid., h. 140.

[33] Manna’ Khali<>l al-Qatta> ‘Ulu>
[34] Shubhi al-Sha>lih, Ulu>m…Op. Cit., h. 24.

[35] Pemaparan Azami tentang tradisi tulis-menulis pada masa awal Islam ini, bisa dilihat dalam M.M. Azami>, Hadi>th…Op. Cit., h. 132.

[36] M.M. Azami>, Hadi>th…Ibid., h. 31-32.

[37] Statemen ini dikutip dari Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadith menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami,” dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 56.

[38] Fatur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadith, Cet.I, (Bandung: Pt al-Ma’rifat, 1974), h. 50.

TEORI COMMON LINK G.H.A. JUYNBOLL, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi

haditsSunan Gunung Djati-Selama ini, umat Islam meyakini bahwa jika suatu hadits terdapat (terkodifikasi) dalam koleksi kitab-kitab kanonik (al-kutub as-sittah/at-tis’ah), maka secara otomatis hadits tersebut dinilai shahih, autentik berasal dari Nabi Muhammad SAW.

Tidak disangsikan lagi kebenarannya, dan oleh karenanya dapat dijadikan hujjah (dasar/pijakan) dalam menyelesaikan sebuah masalah. Namun, kenyataan ini akan berbeda sama sekali setelah kita mengkaji secara mendalam teori common link yang diperkenalkan oleh G.H.A. Juynboll dalam buku ini.

Meski relatif baru dan belum banyak dikenal, kehadiran teori ini ternyata mendapat antusiasme tersendiri di kalangan umat Islam, para pengkaji ilmu hadits pada khususnya. Kehadiran teori common link Juynboll ini tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadits konvensional, tetapi juga menolak secara penuh seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi metode (konvensional) tersebut. Tidak heran, banyak ahli hadits (Muhadditsun) yang menanyakan, apakah teori ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan didukung oleh fakta-fakta sejarah yang akurat, sehingga dapat diterima sebagai metode baru dalam menulusuri asal-usul sebuah hadits.

Berangkat dari persoalan inilah, Dr. Ali Masrur melakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan jawabannya. Dalam disertasi doktoralnya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada tahun 2004 lalu, dia mengangkat teori common link ini sebagai pusat kajiannya. Nah, buku ini sesungguhnya adalah hasil penelitian Dr. Ali Masrur tersebut, kemudian diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta dari judul aslinya: “Asal-Usul Hadits: Telaah atas Teori Common Link G.H.A. Juynboll”.

Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya (hal. 03).

Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya –secara mutlak– kebenarannya, dha’if.

Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969 yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link.

Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits.

Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab, dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi setiap orang yang membacanya.

Praktis, buku ini pun mendapatkan tempat tersendiri di kalangan pelajar dan cerdik cendikia. Melalui buku ini, Dr. Ali Masrur mencoba menyajikan teori common link Juynboll dengan fantastik dan bahasa yang mudah dicerna. Pada Bab II dalam buku ini, misalnya, Dr. Ali Masrur mencontohkan secara langsung petunjuk dan langkah-langkah praktis untuk mengaplikasikan teori common link ini. Yang lebih menarik lagi, perdebatan sengit antara dua kubu, pro dan kontra (Sarjana Muslim dan Barat) juga turut menghiasi halaman buku ini, pada Bab IV. Ini menunjukkan kejeniusan Dr. Ali Masrur dalam “menjelentrehkan” teori ini. Selain itu, dalam penyajiannya, Dr. Ali Masrur juga banyak merujuk langsung ke sumber (literatur) aslinya, sehingga semakin memperkuat akurasi dari data yang disajikan.

Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran baru bagi wacana keilmuwan kita dalam bidang ilmu hadits. Dan semoga dengan hadirnya teori common link yang diperkenalkan G.H.A. Juynboll dalam buku ini, semakin menambah wawasan kita (umat Islam) dalam upaya menemukan sebuah hadits yang autentik (shahih) sebagai landasan hukum kedua, setelah Qur’an.

M. Husnaini, Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Senin, 14 Desember 2009

14 ARISTOTELES 384 SM-322 SM

Nyaris tak terbantahkan, Aristoteles seorang filosof dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan.

Banyak ide-ide Aristoteles kini sudah ketinggalan jaman. Tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukan Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya. Tercermin dalam tulisantulisan Aristoteles sikapnya bahwa tiap segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka untuk obyek pemikiran dan analisa. Pendapat Aristoteles, alam semesta tidaklah dikendalikan oleh serba kebetulan, oleh magi, oleh keinginan tak terjajaki kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-hukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis dan kita mesti memanfaatkan baik pengamatan empiris dan alasan-alasan yang logis sebelum mengambil keputusan. Rangkaian sikap-sikap ini --yang bertolak belakang dengan tradisi, takhyul dan mistik-- telah mempengaruhi secara mendalam peradaban Eropa.

Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Dia menetap di sana selama dua puluh tahun hingga tak lama Plato meninggal dunia. Dari ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan "pengetahuan praktis". Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis.

Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru seorang anak raja umur tiga belas tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander Yang Agung. Aristoteles mendidik si Alexander muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles kembali ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum. Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander. Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan. Mungkin ini merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima jumlah dana besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan sekaligus merupakan yang terakhir dalam abad-abad berikutnya.

Walau begitu, pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Aristoteles, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun.


Aristoteles dengan muridnya, Alexander

Hasil murni karya Aristoteles jumlahnya mencengangkan. Empat puluh tujuh karyanya masih tetap bertahan. Daftar kuno mencatat tidak kurang dari seratus tujuh puluh buku hasil ciptaannya. Bahkan bukan sekedar banyaknya jumlah judul buku saja yang mengagumkan, melainkan luas daya jangkauan peradaban yang menjadi bahan renungannya juga tak kurang-kurang hebatnya. Kerja ilmiahnya betul-betul merupakan ensiklopedi ilmu untuk jamannya. Aristoteles menulis tentang astronomi, zoologi, embryologi, geografi, geologi, fisika, anatomi, physiologi, dan hampir tiap karyanya dikenal di masa Yunani purba. Hasil karya ilmiahnya, merupakan, sebagiannya, kumpulan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari para asisten yang spesial digaji untuk menghimpun data-data untuknya, sedangkan sebagian lagi merupakan hasil dari serentetan pengamatannya sendiri.

Untuk menjadi seorang ahli paling jempolan dalam tiap cabang ilmu tentu kemustahilan yang ajaib dan tak ada duplikat seseorang di masa sesudahnya. Tetapi apa yang sudah dicapai oleh Aristoteles malah lebih dari itu. Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam tiap bidang penting falsafah spekulatif, dia menulis tentang etika dan metafisika, psikologi, ekonomi, teologi, politik, retorika, keindahan, pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang dan konstitusi Athena. Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi pelbagai negeri yang digunakannya untuk studi bandingan.

Mungkin sekali, yang paling penting dari sekian banyak hasil karyanya adalah penyelidikannya tentang teori logika, dan Aristoteles dipandang selaku pendiri cabang filosofi yang penting ini. Hal ini sebetulnya berkat sifat logis dari cara berfikir Aristoteles yang memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu. Dia punya bakat mengatur cara berfikir, merumuskan kaidah dan jenis-jenisnya yang kemudian jadi dasar berpikir di banyak bidang ilmu pengetahuan. Aristoteles tak pernah kejeblos ke dalam rawa-rawa mistik ataupun ekstrim. Aristoteles senantiasa bersiteguh mengutarakan pendapat-pendapat praktis. Sudah barang tentu, manusia namanya, dia juga berbuat kesalahan. Tetapi, sungguh menakjubkan sekali betapa sedikitnya kesalahan yang dia bikin dalam ensiklopedi yang begitu luas.

Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di jaman dulu dan jaman pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara teologi Islam dengan rasionalismenya Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme. Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles.

Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya.

Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dan dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja --mencerminkan pandangan yang berlaku pada jaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, "Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan," dan kalimat "Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya." (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).

Di abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles telah merosot bukan alang kepalang. Namun, saya pikir pengaruhnya sudah begitu menyerap dan berlangsung begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa menempatkannya lebih tinggi dari tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingkat urutannya sekarang ini terutama akibat amat pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam urutan.



Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
Michael H. Hart, 1978
Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982
PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A
Jakarta Pusat

Trik Hacking Download

Iseng-Iseng nulis. Sebenarnya males banget mau nulis tapi mungkin penting bagi teman-teman. Kali ini saya akan menulis sebuah tip & trik yang saya baca dari sebuah forum. Tip ini sangat simple tapi agak susah juga, yaitu tip & trik Hacking Download. Tip ini sangat berguna sekali bagi teman yang sering download film, lagu, games,dll. tipnya gak susah kok..
berikut ini tip &triknya:


Trik #1 : Rapidshare waiting time

Download di rapidshare emang nyebelin !
harus nunggu segala, nah sebagai solusinya, ini ada sebuah trik, trik ini hanya bisa dilakukan di firefox
caranya, download ekstensi tix now!

Disini : http://ane.ueuo.com/download/tix_now_-0.1-fx.xpi

setelah itu tinggal di-install
teruss , ketika kamu mau download dari rapidshare, kan tetep ada tuh, waiting time-nya (biasanya 0.7 menit), sekarang liat di pojok kanan browser firefox kamu, disitu ada ikon berhuruf T berwarna oranye, nah klik ikon itu, waiting time ilang !

---------------------------------------------------------------

Trik #2 : MEGAUPLOAD

Waduh, mendengar megaupload, saya jadi ngak enak nih di situs ini kamu harus download toolbar segala, padahal, kadang-kadang file yang di-download udah mendesak, hehehe....

Pertama-tama, kita butuh ekstensi, wah firefox lagi...
kita butuh ekstensi yang namanya MEGAUPLOAD SX 3, ini dah yang terbaru, bisa di download DISINI
. Sama ekstensin User Agent Switcher yang bisa di-download

Disini : http://ane.ueuo.com/download/user_agent … +mz+zm.xpi

Nah, kalo udah download dan di install, klik menu Tools => Add-ons, nah di situ nanti ada User Agent Swicther, nah kamu klik dah tombol Options, trus klik User Agents => Add, nah konfigurasi lengkapnya :

Desciption : MEGAUPLOAD
User Agent : Mozilla/4.0 (compatible; MSIE 6.0; Windows NT 5.1; SV1; Alexa Toolbar)

---------------------------------------------------------------

Trik #3 : Download Rapidshare sepuasnya

Kali ini saya akan berbagi sebuah software
. tapi sebenarnya sangat berguna jika kita sering kali download di rapidshare. Keunggulannya software ini berhasil menghack sistem Rapidshare sehingga kita bisa :
1. Download banyak file di rapidshare secara bersamaan
2. Tanpa menunggu waiting time
3. Tanpa perlu memasukkan kode
Jadi tiap ada link rapidshare dan software ini aktif kita bisa langsung mengambilnya.

Download Filenya dulu (1 MB Lebih)

Disini : http://rapidshare.com/files/15367649/Ra … _by_m3.rar

---------------------------------------------------------------

Nah udah tau kan trik2x download hehe....
Segini dulu yach tutorial dari saya

Senin, 30 November 2009

Trik Internetan Gratis Pake Kartu CDMA

sesuai banyak yang request .
ada yang terbaru lagi nee untuk mengaakali biar internet gratis .
hehehehehehehe .
orang indonesiakan maunya gratisan kaya gw . .
ne patut dicoba .

Gratisan StarOne
parameter yang digunakan untuk koneksi dgn chip StarOne,
nomor dial = #777
username/login= wap
password= wap
jika anda menggunakan mozilla pilih Tool=>option=>advanced=>network=>setting=>pilih manual proxy configuration, kemudian masukkan proxy berikut :
http proxy: 66.29.36.95 port: 554 atau 1745
tinggal daftar di http://pps.nntime.com/
kemudian centang use this proxy for all protocol.proxy ini bagus karena bisa membuka halaman2 dengan ssl 128 bit seperti yahoomail,e-gold, gmail, internet banking, dan semuanya, tentu saja bisa membuka halaman friendster yang menjadi kegemaran anda
lakukan dial cdma anda, kemudian mulailah browsing….
good luck.


Gratisan Esia
Anda bisa menggunakan operator Luar Negeri. Isikan Proxy Anda dengan 129.82.12.187 / 216.165.109.82 dan Port 3128/3124/3127 (pilih salah satu),
atau
200.63.213.2 /66.29.36.95 (username cari di http://pps.nntime.com/) /
dengan port 554

Yang perlu kalian lakukan cuma rubah setting proxy di browser kalian.


Gratisan Esia (alternatif)

Beli kartu Esia paket untung, terus pake internetan aja , nah so pasti berkurang kan pulsanya nah itu wajar, nanti klo udah sampe pulsa Rp. 0 dia bakal bisa terus, tapi mendingan si abisin dulu aja pulsanya buat telponan klo dah Rp. 0 baru deh pake internetan ini.

so caranya dengan settingan:

login dial up

username : esia /wifone/wimode

pass : esia/wifone/wimode

username ama paswordnya ya pilih salah satu aja, semuanya bisa, nah setelah masuk ke internetnya kita harus pake proxy, masukin proxynya lewat mozilla klik tools , lalu options, lalu advance, network, dan setting kemudian isi manual proxy dengan 200.63.213.2 dengan port 554 uda deh tinggal buka website dan bisa, kelemahan koneksi suka putus-putus dan agak lama, kalo mau agak cepet ya musti cari proxy lain di google banyak, atau jika anda menggunakan mozilla pilih Tool=>option=>advanced=>network=>setting=>pilih manual proxy configuration, kemudian masukkan proxy berikut :
http proxy: 66.29.36.95 port: 554

kemudian centang use this proxy for all protocol.

pada saat awal browsing anda akan dimintai username dan password,

anda bisa membuat username sendiri di sini

atau kalau ingin yang full bisa beli sendiri


Gratisan Esia (Alternatif 2)

Beli perdana esia Siul

Download proxifier ada di sini http://rapidshare.com/files/66124802/Proxifier.zip
pass : xteamweb.com

User dan pass standart aja pke user dan pass wimode juga bisa Riang Riang Riang Riang

Kalo udah setting proxifier

Option -->> setting proxy -->> add --> masukin proxy xteam port 554 -->> ceklist HTTPS -->> masukin user dan password masing-masing yang di kasih sama mimin

xteam proxy : 72.55.165.86 port 554, user name : internet untuksemua, pass : berubah-ubah sih, bisa dilihat update-nya di http://internetuntuksemua.blogspot.c...ate-proxy.html. Di situ selalu diupdate passwordnya jika ada perubahan dari X-Team.

Options -->> Name Of Resolution -->> pilih yang remotely di ceklist


Gratisan Smart

Setting MyEnTunnel :
====================
SSH Server : 68.178.172.19 SSH Server : 72.55.165.86
SSH Port : 80 (ini sudah tetap) SSH Port : 8080

Username : anjing Username : internetuntuksemua
Pass : buduk Pass : free4u
Centang : - Reconnect on Failure
- Use Private Key
- Verbose Logging
- Enable Slow Polling
- Infinite Retry Attempts
- Enable Dyanamic SOCKS Port 80 (ini yang bisa kita rubah-rubah jadi 20 dsb)
- Hide Port Connections
- Enable Compression
- Retry Delay 1
- Disable Notifications

Pilihan Port lainnya : 20, 443,554,3124,3127, 7999,8000,8088,8888 and 9201

Browser Settings :
==================
yang diisi cuma SOCKS dengan localhost port 80

Dial Up Settings :
==================
paling cocok untuk SMART (lalu ESIA)...
SMART username cdma pass cdma #777
ESIA username esia pass esia #777


Gratisan Smart (alternatif)
Gunakan proxy 10.17.27.250 port 8080

username : cdma
password : cdma
dial : #777
smart pakai port 8080,80,8000.


Gratisan Smart (Alternatif)
Meski internet gratis esia sudah tidak jalan, namun bagi cdma user masih ada pilihan lain untuk bisa menggunakan akses internet gratis. Salah satunya adalah internet gratis smart dengan menggunakan proxy 10.17.27.250:8080. Sebenernya, untuk bisa mendapat koneksi maksimal, kita ga perlu repot-repot, cukup memodifikasi sedikit dari trik internet gratis esia yg sudah pernah dibahas, bisa ngacir bebas hambatan.

Pertama, dial smart-mu

Kedua, buka PuTTY lalu set proxy 10.17.27.250:8080 pada tab proxy. lalu pada bagian ssh pilih tunnel dan masukkan source port sesuai keinginan dan centang “dynamic”nya.

ketiga, masukkan IP free ssh account yg telah di share sebelumnya pada bagian hostname, lalu masukkan port ssh nya dengan port 80.

keempat, jalankan ssh tunnel lewat PuTTY kemudian buka proxifier dan set socks proxy hasil dari ssh tunnel disana.

kelima, restart proxifier and done !!!

FYI, sampai saat gw posting, trik ini masih bisa jalan. ga tau nanti, esok ato lusa .. heuheuheue.. good luck ajah poko’e……


Gratis dengan Flexi

Total murah Flexi (setengah gratisan lho, yang mbayar cuma upload nya)
Langsung Aja kita setting internet gratisnya….!

1. Pastikan sinyal Flexi di daerahmu bagusss….
2. Install program Your-Freedom di komputermu.
3. Habis install, jangan di jalankan dulu Your-Freedomnya.
4. Koneksikan komputermu dengan internet (#777, telkomnet@flexi, telkom).
5. Kalau sudah Connect, jalankan Your-Freedom.
6. Klik tab Ports dan klik checkbox Shock 4/5 Port 1080 dan klik checkbox Web Proxy Port 8080 .
7. Kembali klik tab Status, dan kemudian klik Configure.
8. Pada bagian Server Connection isi dengan ems09.your-freedom.de dan pada kotak bawah yang http ganti dengan udp otomatis portnya akan diganti dengan 53.
9. Isi Proxy Setting dengan IP 203.26.206.132. Isi port dengan port 554
Proxy type HTTP/HTTPS Proxy.

10. Pada bagian Account Information, isikan user dan password nya dengan yang kamu dapat pada saat daftar di Your-Freedom.

11. Cek pada tab Message seharusnya akan muncul tulisan
Client Version : 20070511-01 Server Version : 20070510-11 Auth-ok : Authentication Accepted Starting Port Current RTT : xxxx ms…

Selanjutnya Setting browser kamu…., untuk yang pake’ Mozilla, nih settinganya…

1. Klick Tools, Options, Advanced, Network, Setting…
2. Pilih Manual Proxy Configurations
3. Kosongkan semua bagian kecuali pada bagian HTTP, SSL dan FTP diisi localhost 8080, sementara
SOCK Host isikan localhost port 1080.
Kemudian pada bagian No Proxy for isikan localhost, 127.0.0.1,92.168.0.0/16


Gratisan Three
Mungkin udah ada yang tau, jadi ini buat yang blom tau aja ya... Tos dulu
setting inet three free
username 3mms
password 3mms
apn 3mms

terserah mau dapat ip client berapa 10.21.xx.xx atau berapa kek, ngga masalah. Cool

setelah terkoneksi masuk dalam jaringan, silahkan buka ultrasurf isi dengan manual proxy 10.4.0.10 port 8080, tunggu sampai ada status sukses.
untuk setting browser firefox ubah proxy menjadi 127.0.0.1 port 9666 ok.
kalau udah selamat browsing cuma masih sering dc, silahkan dioprek lebih lanjut. Tos dulu.


XL Gprs
Ni da gret dr XL, coba gw share, mungkin teman2 ada yang belum tau, ntar kurang lebihnya teman2 lengkapin ya...
Setting dengan:
IP: 217.27.32.188
Port: 9201
Tambahkan URL dengan wap.xl.co.id@ sebagai contoh:
http://wap.xl.co.id@wap.test.com
Untuk bisa menggunakan secara full tambahkan juga dengan:
http://wap.xl.co.id@mobile.aolsearch.com/lnk000/
Apabila anda menggunakan PC,
coba gunakan browser winwap dan bisa juga pakai browser openwave.
Trik ini hanya bisa dipakai jika xl anda dalam masa aktif.
Setelah gprs xl aktif pastikan pulsa anda telah habis atau dibawah Rp.2000,-.
Nah untuk memasuki kesebuah halaman wap
ubahlah http:// menjadi Http://

udah sampai disini .
mgkn cm kena 1000 perak klo bwt dng trik itu semua .
Semoga Bermanfaat …